vhiena

vhiena

Rabu, 18 November 2009

CEMBURU....?????


Cemburu;
Jus Tujuh Rasa Tujuh Aroma

Percayalah, usia cemburu itu sudah seumur dunia, bahkan lebih tua dari itu. Sejak nenek moyang kita masih tinggal di taman surga, cerita tentang cemburu sudah dimulai. Sebab, rasa cemburu dilahirkan bersaudara kembar dengan rasa cinta. Sedangkan cinta telah dianugerahkan saat Tuhan memutuskan mencipta Hawa dari rusuk kiri Adam.
Seperti saudara kembarnya (cinta), cemburu adalah sesuatu yang sangat misterius. Cobalah tanyakan pada semua orang di dunia. Coba bacalah tulisan-tulisan para pujangga dari zaman kiwari hingga masa kini. Coba sibak pemikiran para filsuf dari zaman batu hingga sekarang, dari zaman kuda gigit besi hingga zaman kuda gigit kibor. “Adakah yang bisa mendefinisikan cinta dan cemburu dengan definisi yang tepat?”
Nyaris tak ada. Ketika kita berhadapan dengan satu teori tentang cinta dan cemburu, mungkin kita akan mengangguk-angguk membenarkan. Namun, tetap saja ada bagian yang tidak terjelaskan dari hal tersebut.
Lalu, seperti apa gambaran cemburu yang paling bisa dirujuk untuk acuan?
Sebagian pakar psikologi komunikasi memberi definisi cemburu sebagai berikut: “Cemburu merupakan reaksi yang kompleks terhadap perasaan terancam akan hubungan yang sedang dijalin. Berbeda dengan rasa benci, cemburu selalu melibatkan rasa takut akan kehilangan.”
Sikap itu merupakan reaksi terhadap ancaman yang terjadi dalam hubungan antara dua orang karena adanya saingan alias rival. Namun, Jacinta F. Rini, M.Si. dari e-psikologi.com. menegaskan lebih lanjut bahwa: “Yang dianggap rival, belum tentu orang. Bisa juga hobi, benda, atau apa saja yang akhirnya mengalihkan perhatian orang yang dicemburui.”
Selaras dengan hal tersebut, fakta di lapangan menunjukkan adanya sikap istri yang mencemburui komputer suaminya, mencemburui binatang piaraan suaminya, dan sebagainya. Sebab, rival dalam kepemilikan atas perhatian suami bisa jadi adalah benda-benda seperti tersebut di atas.
Cemburu sangat berimpit dengan perasaan khawatir ditinggalkan. Dengan kata lain, cemburu dapat diartikan sebagai perasaan kehilangan akibat berpindahnya rasa kasih sayang ke orang lain atau ke suatu benda yang membuat Anda merasa dinomorduakan bahkan mungkin dianggap tak ada.
-----
Jus Segala Rupa
Anda pernah cemburu? Saya tak akan percaya kalau Anda menjawab, “tidak!”. Kenyataannya, rasa cemburu telah dipelajari manusia sejak awal kehidupannya. Seorang bayi belajar menangis ketika tidak mendapat respons dari sekelilingnya, dan ia menyimpulkan dirinya sendirian (ditinggalkan). Seorang anak merajuk karena orang tuanya lebih memerhatikan adik bayinya. Demikianlah kita semenjak bayi telah belajar tentang cemburu, tentang merespons rasa ditinggalkan dan kesendirian.
Dalam tangis bayi terdapat tuntutan. Dalam rengekan anak terdapat permintaan. Begitu pula dalam cemburu, terdapat keinginan atas sesuatu.
Rasa cemburu merupakan pengalaman emosional negatif sebagai hasil dari kemungkinan akan kehilangan relasi yang berharga, baik oleh pesaing yang riil ataupun pesaing yang dibayangkan ada. Dalam hal ini, perasaan “ditinggalkan” menjadi isu sentral dalam hati. Maka, tak heran jika seseorang sedang dilanda cemburu, rasanya seperti sedang menikmati jus tujuh rasa tujuh aroma; nggak jelas rasanya.
Ini sangat logis. Pada kenyataannya, rasa cemburu selalu diikuti dengan berbagai perasaan yang berkisar antara rasa sedih, terabaikan, atau bahkan merasa kehilangan kebanggaan oleh perasaan dicintai dan didambakan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan pada saat tertentu.
Cemburu juga merupakan reaksi kompleks untuk melihat seberapa jauh kualitas hubungan. Artinya, emosi, pikiran, dan perilaku seseorang, semua bergabung menjadi satu. Ketika seseorang cemburu, berbagai rasa dalam dirinya pun muncul. Sedih, marah, takut, malu, merasa bersalah, khawatir, tidak percaya diri, bahkan sakit kepala atau reaksi fisik lainnya.
Kebayang, kan, bagaimana rasanya saat berbagai perasaan itu bergumul menjadi satu dalam ruang sempit hati kita? Lantas, apa episode berikutnya setelah hal-hal tersebut?
Yang terjadi berikutnya adalah kita terprovokasi dan banyak mengasihani diri sendiri. Tak jelas perasaan apa yang ada, tak jelas keinginan apa yang muncul. Diri kita menjadi gelisah dan menuntut sesuatu yang membuat hati menjadi lega. Dan sulitnya, terkadang kita pun tidak bisa mendefinisikan dengan jelas kita sedang menginginkan apa.
Cemburu memang kayak balon: rupa-rupa warnanya!
Saat seseorang dilanda cemburu, ia akan sangat sulit mengenali apa yang sedang dirasakan, serta apa yang sedang diinginkannya. Sepasang suami istri yang dilanda cemburu, misalnya, tak jelas apa tuntutan kepada pasangannya. Faktor pemicunya bisa jadi hanya sms nyasar.
Tanpa adanya rasa cemburu, dalam kasus ini sangat mudah untuk mengenali tuntutan suami: “penjelasan!”. Tapi, saat cemburu sudah menguasai hatinya, penjelasan saja tidak cukup. Bahkan, penjelasan itu belum tentu menjadi solusi. Alih-alih menyelesaikan masalah, penjelasan tersebut bisa dipahami sebagai bentuk perlawanan: “nantangin gue, ya?”

Saat Cemburu Tiba....
Kalau ditanya, “dari mana datangnya lintah?” jawabannya mudah: “dari sawah turun ke kali. Tapi saat ditanya, “dari mana datangnya cinta?” tak cukup dengan menjawab “dari mata turun ke hati.” Itu sih, pepatah kuno.
Tapi, apa hubungannya dengan cinta?
Realitasnya, membicarakan cemburu memang tak bisa lepas dari cinta. Maka, untuk mendefinisikan kapan dan bagaimana cemburu itu muncul, kita bisa mengasumsikannya dengan definisi kapan dan bagaimana cinta itu tiba.
Kita selalu tak tahu kapan pertama kali mulai mencintai sesuatu. Ia adalah sesuatu yang datangnya tidak kita sadari. Tiba-tiba sudah menjadi sedemikian besar.
Dr. Samara Abduh, pengasuh rubrik tanya jawab remaja pada situs islamonline, membuat personifikasi tentang cinta sebagai “sebuah tumbuhan”. Tabiat cinta itu menyukai udara segar dan sinar matahari. Ia akan liar jika tidak dirawat, dan akan mati saat ditinggalkan.
Cinta adalah sebuah tumbuhan, yang berarti ia mengalami fase “tumbuh”. Demikian halnya dengan rasa cemburu, mengalami fase yang sama. Ia tumbuh, bergerak, kadang-kadang tanpa kita sadari telah meruyak ke mana-mana.
Nah, itu kalau cinta. Bagaimana dengan cemburu?
Dapat dikatakan, untuk bisa cemburu, seseorang harus memiliki hubungan yang terancam sirna dengan kehadiran pesaing romantis, misalnya. Sehingga hubungan yang telah ada sebelumnya terancam.
Karena dua rasa ini—cinta dan cemburu—bermain di ranah emosi, ada kecenderungan rasa itu memanipulasi. Tabiatnya tak jauh beda dengan virus trojan atau brontok. Apabila virus tersebut menginfeksi PC, yang dilakukan adalah memanipulasi file data menjadi file sistem, mengubah tipe file folder menjadi .exe. Efek lebih lanjutnya, file data tenggelam dalam format hidden file. Sesudah itu, komputer berjalan lemot. Hidup segan, mati pun enggan.
Cemburu membuat seseorang susah mengenali perasaannya sendiri, keinginan dan tuntutan-tuntutannya. Tuntutan dan keinginan itu menjadi berstatus hidden, tersembunyi. Booting menjadi lambat, karena semua file masuk ke sistem operasi. Maka, dalam kasus cemburu, seseorang terprovokasi melakukan kehendak-kehendak yang bersifat destruktif, misalnya kemarahan dan kebencian.
Penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 13% dari kasus pembunuhan disebabkan salah satu pasangan membunuh pasangannya dengan dasar cemburu sebagai motif utama (Buss, 2000).
Cinta dan cemburu memang menimbulkan energi negatif. Banyak kasus menunjukkan bagaimana energi negatif itu justru akan diarahkan kepada objek yang dinilai memulai “main api”.
Yang patut dicermati adalah kemarahan yang timbul bisa menjadi penyebab perilaku “menyerang”. Maka, tentu suatu hal yang bisa dipahami bahwa rasa cemburu bisa mendorong seseorang melakukan tindakan ekstrem, misalnya kemarahan seorang kakek menjadi pemicu ia membunuh istrinya yang juga sudah nenek-nenek.
Terdapat tiga perasaan inti yang membuat definisi cemburu semakin jelas. Yaitu sakit hati, kemarahan yang amat sangat yang sering sekaligus diikuti rasa cemas, bahkan ketakutan.
Cemburu melibatkan perasaan, pikiran, dan tingkah laku dalam ruang yang sangat luas. Perasaan, misalnya. Cemburu bisa menjadi pemicu perasaan marah, gusar, sedih, benci, sakit, takut, dan sebagainya. Dalam kondisi yang ekstrem, timbul kekecewaan dari rasa dihina, direndahkan, dan ditinggalkan.
Bahkan, cemburu juga bisa melibatkan pikiran. Misalnya muncul ide dendam, menyalahkan diri sendiri dan orang lain, membanding-bandingkan dengan saingan, dan cemas akan pandangan orang. Semua itu ekses dari munculnya pikiran untuk mengasihani diri sendiri.
Nah, saat cemburu tidak lagi terbendung, pada akhirnya muncul reaksi-reaksi fisik yang tak kalah ekstrem, seperti merasa ingin pingsan, gemetar, berkeringat, bertindak agresif, dan bahkan terprovokasi melakukan tindakan kekerasan. Pergerakan psikologis yang destruktif semacam inilah yang perlu diwaspadai karena selain mengancam keselamatan diri sendiri, juga akan mengancam keselamatan orang lain. Sebagaimana hasil riset yang telah kita bahas sebelumnya, banyak juga kasus orang yang bunuh diri karena dipicu perasaan cemburu.
-----
Cemburu Berarti Cinta? Nggak Zaman, Lageee...!

Ternyata, cemburu memiliki banyak baju, lho...! Mencermati ragam persepsi masyarakat terhadap cemburu dari masa ke masa, telihat bahwa isu cemburu mengalami sejarah perjalanan yang panjang, dan setiap budaya memiliki persepsi yang berbeda.
Di Indonesia, reaksi kultural yang muncul pada tahun 70-an adalah penilaian positif terhadap rasa cemburu. Pada era itu, rasa cemburu dipandang sebagai sifat emosional yang baik, bahkan dipandang perlu. Pendapat ini menyatakan bahwa rasa cemburu adalah bukti cinta.
Diyakini, cemburu memberi efek positif bagi kelanggengan suatu pekawinan. Bahkan, tak jarang ungkapan rasa cemburu dijadikan sebagai parameter kecintaan seseorang. Kecemburuan dalam batas moderat dapat menyebabkan seseorang memeriksa dan membuktikan nilai relasi antarpasangan, sehingga dinilai justru akan mempererat ikatan relasinya.
“Bagaimana mungkin pasangan suami istri bisa disebut saling mencintai jika di antara mereka tidak pernah muncul rasa cemburu?” Kurang lebih demikian ringkasan pendapat tersebut.
Namun, terjadi pergeseran persepsi terhadap cemburu tersebut pada era 80-an. Pendapat tentang cemburu berubah dengan reaksi bahwa rasa cemburu merupakan ungkapan perasaan ketidaknyamanan seseorang secara psikis. Pandangan ini cenderung mengakomodasi persepsi bahwa sangat mungkin seseorang memiliki cinta tanpa harus cemburu. Bahkan, relasi cinta yang sehat dipersepsikan sebagai sebuah relasi yang tidak akan menimbulkan kekhawatiran dan menjamin rasa aman—artinya, tidak ada cemburu.
Pada dekade ini, persepsi cenderung mendukung pendapat bahwa relasi perkawinan yang matang dan dewasa ditandai oleh adanya peluang pertumbuhan personal dan integritas kepribadian masing-masing secara utuh. Dengan tumbuh dan eksisnya sikap saling percaya antarpasangan, maka dinilai cemburu tidak memiliki lahan untuk tumbuh.
Pendapat ini menempatkan rasa cemburu sebagai hasil perkembangan sikap mental yang tidak sehat, atau tidak optimalnya fungsi kepribadian. Hal ini seiring dengan perkembangan ilmu psikologi modern yang menemukan fakta-fakta keterkaitan antara sifat posesif dengan ketidakharmonisan hubungan orang tua.
Dalam penelitian Henker (1983), disimpulkan bahwa pola hubungan orang tua dan anak akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seorang anak. Artinya, itu tersimpan dalam memori bawah sadar, yang sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan. Maka, setiap anak berpotensi untuk bersikap sebagaimana orang tuanya bersikap.
Termasuk di dalam hal yang tertanam dalam alam bawah sadar ini adalah manajemen emosi, reaksi terhadap sesuatu, dan pilihan sikap dalam menghadapi masalah. Selanjutnya, nilai-nilai yang tertanam itu kelak akan termanifestasi dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Ia akan menjiplak pola hubungan orang tuanya pada saat ia membentuk sebuah keluarga baru.
Lebih lanjut, Henker menegaskan bahwa pola hubungan orang tua dan anak yang mampu menyuplai kebutuhan emosional anak—memuaskan dan membahagiakan—akan menimbulkan efek emosi positif pada anak tersebut. Orang yang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya nanti. Sebaliknya, pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, tanpa disadari akan terekam dan menimbulkan stres berkepanjangan.
Kurangnya perhatian orang tua secara konsisten, sering menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Sikap penolakan yang dialami anak akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan, dan rasa tidak berharga.
Citra hubungan orang tua yang kurang harmonis ini akan memengaruhi motivasi dan sikap setiap anak dalam menjalin relasi dengan orang lain. Bisa jadi, imajinasi ideal seorang wanita tentang sosok seorang suami dipengaruhi oleh kerinduannya akan figur seorang ayah yang melindungi serta mencurahkan perhatian dan kasih sayang. Begitu pula sebaliknya.
Yang menjadi masalah adalah, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), kelak di masa dewasanya, cenderung mentransfer kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan, dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk menyuplai kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi.
Yang menakjubkan, dalam berbagai penelitian modern ditemukan fakta adanya korelasi antara perilaku ayah yang kurang “hangat” terhadap anak, dengan kecenderungan sifat tantrum, rendah diri, dan posesif. Diakui atau tidak, tiga hal tersebut adalah “aktor” di balik tumbuh suburnya rasa cemburu.
Sigmund Freud (pakar psikoanalisis) berpendapat bahwa rasa cemburu berkembang pada setiap manusia sejak dini, saat anak berjuang untuk memperoleh kasih sayang ibu yang aman dan nyaman. Seorang anak yang tidak merasa memperoleh kasih sayang ibu yang aman dan meyakinkan sejak dini, akan mengambangkan rasa cemburu yang intens kelak ketika anak dewasa.
Selanjutnya dinyatakan bahwa orang yang kurang percaya diri sangat rentan terhadap perkembangan rasa cemburu dalam dirinya, apalagi jika orang tersebut merasa kualitas perkawinannya kurang memuaskan. Orang ini pun merasa peluang alternatif untuk memperoleh kebahagiaan perkawinan sangat kecil, padahal ia sangat mencintai dan bergantung pada pasangannya.
Dalam kehidupan pernikahan, rasa cemburu dipandang sebagai bukti dari menurunnya kualitas hubungan interrelasi suami istri. Kecemburuan menjadi suatu defisiensi. Maka, cemburu menjadi syarat bahwa relasi antarpasangan dinyatakan defisien; menurun kualitasnya.
Perkembangan ilmu psikologi modern itu menempatkan “rasa aman” sebagai parameter hubungan yang sehat dan ideal. Sedangkan cemburu yang bermain di ambang kekhawatiran, adalah indikasi dari sesuatu yang “tidak ideal”. Maka, persepsi kultural di era ini menyatakan bahwa cemburu bukanlah tanda cinta.
Perkembangan terbaru tentang persepsi cemburu, mengarah pada kesimpulan bahwa orang yang dilanda cemburu adalah orang yang berada dalam kondisi mental yang sama dengan “pedang bermata dua.” Salah satu mata pedang itu merupakan ekspresi cinta terhadap pasangan, sedangkan mata pedang yang lain merupakan ekspresi paranoid (kecurigaan yang bersifat patologis.)
Lantas, bagaimana realitas psikologi cemburu saat ini?
Kepekaan terhadap rasa cemburu antarpasangan pada masa-masa terakhir ini cenderung meningkat. Stimulannya pun bisa bermacam-macam; tuntutan hidup yang semakin tinggi, arus budaya nonpribumi yang cenderung serbapermisif, hingga tontonan-tontonan kelas “tempe” yang—ajaibnya—begitu diminati dan disambut gegap gempita oleh masyarakat modern.
Lihat saja bagaimana sinetron-sinetron remaja mengajarkan mengekspresikan cinta dengan “bodoh!” Tengoklah bagaimana cerita melulu tentang cemburu buta, buta, dan buta. Padahal, kepada sinetron-sinetron itulah kini kaum muda lebih banyak belajar.
Seharusnya memang media semacam ini bisa lebih “bersahabat” dengan remaja, dengan berorientasi pada kematangan dan integritas personal di masa yang akan datang. Alih-alih menyuguhkan ekspresi emosi yang bodoh, seharusnya media mengajarkan bagaimana mengelola emosi secara cerdas dan bijak.
Cemburu memicu munculnya rasa curiga. Rasa curiga berkembang menjadi ketidakpercayaan, kemarahan, dan kekesalan yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Kemungkinan besar, kecemburuan yang terakumulasi tersebut berkembang menjadi gejala paranoid yang bersifat psikopatologi (suatu jenis penyakit mental di mana kehidupan mental penderita dilimpahi oleh kecurigaan tertentu).

0 komentar:

Posting Komentar

.........................vhie_na..............................